TERJEBAK DENGAN 3 MURID
Berjalan menembus malam yang dingin dan lembab, dengan murung disinari lampu jalan rusak yang berkedip-kedip seperti lampu disko, tiga orang wanita yang sedang berjalan menarik perhatianku, karena mereka tiba-tiba berhenti dan berdiri kaku tidak jauh dari tempatku duduk. Satu diantara mereka berbisik kepada yang lain saat mereka melihatku. Butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa sudah barang tentu mereka terkejut saat melihatku, mereka buka wanita tapi anak perempuan alias murid sekolahku.
“Linda, Tria, dan Silvi: ke sini sekarang!” perintahku.
Berkebalikan dengan segala yang diperintahkan tubuh mereka, yang mungkin berpikiran untuk lari dan selamatkan diri atau cuekin saja gurumu itu dan pergi menjauh darinya atau yang lainnya, tetapi walau begitu mereka tetap menuruti peritahku dan bergerak melangkah mendekat menuju tempatku duduk.Seraya beringsut murung mereka mempersiapkan wajah polos mereka yang paling memelas sebagai protes visual atas omelanku.
Linda membuka pembelaan. “ada apa pak?”
“iya pak, ada apa manggil kami?” tambah Tria, mendukung temannya.
Silvia diam saja, berharap aku tidak akan memperhatikan tingkah anehnya yang menyembunyikan tangan di balik badannya.
“tolong balik badanmu,. Silvia,” perintahku dengan tegas.
Tapi dia menolak.
“pak, anda tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kami, pak,” erang Linda. “kami sedang tidak berada dalam yuridiksi anda dan sekolah,”
Aku mencatat baik-baik penggunaan kata “yuridiksi” oleh Linda. Biasanya aku akan terkesan jika muridku menggunakan kata-kata yang berbau ilmiah dalam pembicaraannya, tapi dalam hal ini sungguh tidak bisa membuatku kagum sama sekali.
“oke,” ujarku, pura-pura bosan, “kalau itu yang kalian inginkan, tapi aku tidak akan berharap menjadi diri kalian pada hari senin nanti,”
Aku sadar mungkin aku bersikap agak verlebihan dan tekesan brengsek. Lagi pula mereka ada benarnya, ini bukan jam sekolah dan mereka sedang berada diluar lingkungan sekolah, terlebih apa yang sedang mereka lakukan itu bukan urusanku. Satu-satunya jawaban yang terpikir olehku untuk membela diri adalah kondisi yang kehabisan dan tidak mempunyai rokok mengubahku menjadi si tua brengsek pemarah yang sedang membuat para remaja kesal.
“itu tidak adil dong pak,” erang Tria agak cepat dan sedikit kesal.
“selamat datang di dunia nyata,” omelku sambil menggoyang-goyangkan kaki dengan gayanya. “hidup tidaklah adil, tidak pernah dan tidak akan pernah.” Aku mengalihkan perhatian pada Silvia. “nah, sekarang apa yang sedang kamu sembunyikan dari tadi itu, apakah kamu akan memperlihatkannya kepada bapak atau tidak?”
Dengan malas-malasan Silvia mengulurkan tangannya di depanku, memperlihatkan tiga batang rokok yang tergencet di antara jemarinya, ujung-ujungnya yang berwarna keoranyean menyala-nyala liar.
Aku melenguh keras, menggunakan lenguhan persis yang digunakan oleh ibuku dan guru-guru yang lain.
“kau tahu seharusnya tidak merokok, yak an?” omelku.
“ya, pak Rega,” balas mereka bersamaan dengan muka murung.
“kalian tahu benda ini bisa membunuh kalian!!”
“ya, pak Rega.”
Silvia menjatuhkan rokok-rokok itu dan menginjaknya.
“aku akan melepaskan kalian kali ini,” ujarku, mengamati sepatu Silvia dengan sedih. “tapi jangan sampai aku melihat kalian melakukan hal semacam ini lagi.”
“ya, pak Rega,” balas mereka.
Aku meraih tasku dan mulai berjalan menjauh, untuk sesaat merasa seperti super hero yang seorang diri mengatasi kelompok-kelompok para bandit yang jahat, tapi setelah dua langkah akupun berhenti, berbalik dan menyerah.
“eh, anak-anak…” panggilku. “kalian masih punya sisa rokok tidak?”
Pekerjaan bagusku menguap bersama asap rokok. Aku telah membandingkan tuntutan disiplin pekerjaanku dengan keinginanku atas desiran nikotin, dan kubu rokok menang.Selaku perokok, murid-muridku memahami dilemaku, tentu saja begitu mereka berhenti tertawa. Linda meraih ke dalam tas kulitnya dan menawarkan sebatang rokok-nya kepadaku.
“kau merokok?” tanyaku tak guna, sambil mengambil sebatang rokok dari tangannya yang terulur.
“yeah, sejak umurku dua belas tahun,” balasnya, wajahnya setengah tersembunyi oleh tas tangannya sementara ia mencari pematik. “apa rokok anda, pak?”
“pak Rega mungkin rokoknya kretek kaya kakek-kakek,” canda Tria.
“rokok filter, sebenarnya,” balasku ringkas.
Linda menemukan pemattiknya dan menyulut rokok-ku.
“aku pernah merokok filter sekali,” tambah Silvia. “seperti menghirup udara tapi terasa berat didada.”
Sekali lagi mereka larut dalam tawa canda sambil terbahak-bahak.Aku mengucapkan terima kasih dan berusaha untuk meninggalkan mereka dan berjalan lebih dulu, tapi mereka bersikeras untuk jalan bersama-sama karena memang mereka searah denganku.Kami berjalan bergandengan, lebih tepatnya aku yang digandeng mereka.Aku merasa jadi seorang raja yang sedang berjalan dengan para selir-selirnya.
“kami mau pergi karaoke, pak,” ujar Tria, meluap-luap penuh energy.
“yeah, kami akan pergi ke tempat karaoke, pak” ujar Linda. “anda mau ikut bersama kami, pak?”
Pertanyaan mereka membuatku berpikir tentang pergi jalan-jalan, tetapi bukan bersama mereka tentunya. Karena tidak lazim rasanya seorang guru laki-laki pergi jalan-jalan bareng bersama murid perempuannya, apalagi ketempat karaoke seperti ajakan mereka, apa yang akan dikatakan guru-guru dan orang tua murid nantinya.
Aku mengucapkan terima kasih untuk rokoknya dan cepat-cepat mengarang cerita tentang pacar yang sedang menunggu dirumah. Ini adalah momen-momen tepat yang diberikan takdi pada hidupku, untuk memberitahuku bahwa nasih ada cukup banyak ruang untuk hal-hal yang akan memburuk sebelum segalanya membaik. Gadis-gadis itu mulai terkikik dan dalam hitungan detik hal ini mampu menurunkan rasa percaya diriku menjadi nol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar