Minggu, 05 Juni 2016

cerpen : Tersenyum dalam Luka

Tersenyum Dalam Luka

Rasa lelah begitu mendera, derai keringat becucuran dari sekujur tubuhku. Telapak kaki rasanya sudah kaku bagai seonggok batang kayu keras, sungguh pegal sekali. Setapak demi setapak jalan yang panas ku lalui dengan perasaan yang sungguh tak menentu. Sering benaku bertarung mempertanyakan arah dan tujuan yang harus aku tuju. Jujur sampai sekarang ini tidak satupun jawaban yang aku dapat.
Setelah pertengkaran dengan ayah dan ibu, aku tidak tahu lagi harus kemana. Keinginan mereka sungguh tidak dapat aku wujudkan. Hanya kali ini aku berani untuk menolak dan berontak dengan keinginan mereka yang akan menjodohkanku dengan seorang lelaki pilihan mereka. Namanya adalah Doni, seorang laki-laki muda dan kaya, doni adalah anak dari sahabat ayahku. Melihat usia aku dan doni yang sudah cukup umur untuk berkeluarga, menjadikan mereka ingin menjodohkan kami berdua.

Keluarga doni merupakan keluarga pengusaha, dan mempunyai sebuah perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan kayu dan kelapa sawit. Perusahaan mereka berkembang pesat dari tahun ke tahun, tidak heran kalau diusianya yang baru menginjak umur 26 tahun, doni sudah mearsakan berbagai macam kemewahan. Rumah, villa, mobil, dan lain sebagainya sudah dimiliki doni sejak duduk di bangku SMA dulu. Itulah sedikit informasi yang aku ketahui mengenai doni, seorang laki-laki yang akan dijodohkan denganku.
Nadia pernah berkata, bahwa seorang anak sudah sepatutnya untuk mewujudkan semua keinginan orang tuanya. Hal tersebut merupakan suatu bentuk tanda bakti sang anak kepada orang tua mereka, yang sudah merawat dan membesarkannya. Perkataan nadia selalu terngiang ditelingaku, memang dari satu sisi aku menyetujui pendapatnya itu, tetapi di sisi lain sungguh aku menolak dengan apa yang dibilang nadia. “berbakti kepada orang tua tidak seharusnya mengerjakan apa yang disuruh mereka, apa lagi mengenai masa depa anaknya”, batinku seakan teriak mengomentari perkataan nadia. Tetapi tetaplah aku yang harus mengalah, aku tidak sanggup melihat ibu ku menangis hanya untuk mendengar kesanggupanku akan keinginan mereka.
Angin berhembus lembut menerpa pipiku yang telah basah oleh cucuran air mata. Tidak bisa ku bayangkan apa yang akan kulakukan nanti jika pada akhirnya aku jadi menikah dengan doni. Pikiranku melayang entah kemana, tatapanku kosong memandang hamparan bintang yang tergantung diatas langit. Sebuah bangku taman di pinggir jalan yang telah penuh dengan coretan-coretan menemani kesendirianku. Jalan protokol yang biasanya di penuhi oleh raungan kendaraan para pekerja yang baru keluar dari gedung-gedung pencakar lagitpun sudah tidak terlihat lagi. Kulihat jam ditangan, ternyata sudah larut malam. Walau hati ini seakan ingin lari jauh dari rumah, tapi tetap saja aku harus pulang kerumah.
**
Pagi ini, rumah terasa sesak di penuhi oleh para tetangga dan sanak saudara yang datang menghadiri undangan dari orang tuaku. Berbagai makanan sudah tesaji di meja, riasan bunga disana-sini bagitu cantik meriasi ruang keluarga yang luas. “ya, hari ini adalah hari pernikahanku, sebuah hari yang paling tidak aku harapkan datang”. Aku bersimpuh duduk di kursi rias kamarku, para ibu-ibu perias pengantin sedang sibuk merias wajahku dengan raisan yang gemerlap disana-sini. Sekilas aku melihat diriku dicermin, sungguh aku memuji pekerjaan mereka.
“sungguh cantiknya diriku, andai kecantikan ini berbanding dengan senyum kebahagiaanku pasti kombinasinya sempurna, tapi sayang aku tidak bahagia untuk hal ini”, gumamku dalam hati.
“kenapa neng, koq pengantin cemberut begitu”, Tanya ibu Asih, sang perias pengantin.
“ah tidak apa-apa bu”, jawabku.
“sudahlah neng, tak usah dipikir, ibu juga dulu pernah mearsakan hal yang sama, perasaan gugup, canggung, takut, dan lain-lain bercampur jadi satu saat akan duduk di pelaminan”, cerita sang ibu asih, mengenang masa-masa pernikahannya dulu.
“bukan masalah itu bu, aku bukan gugup atau takut, tapi…”, perkataanku tiba-tiba terhenti.
“tapi kenapa neng”, bu asih penasaran.
“ah…enggak bu, sudah beres belum bu”, tanyaku, mengalihkan pembicaraan.
Aku tidak mungkin menceritakan tentang apa yang sedang ku rasakan sekarang ini, hanya akan mengacaukan semuanya. Seakan menangkap keraguan akan pilihanku untuk menikah, ibu asih melanjutkan ceritanya tanpa mempedulikan pertanyaanku barusan.
“ibu juga tahu dan ibu juga bisa membaca, tentang apa yang sedang kamu rasakan dan pikirkan saat ini, siapa juga sih yang ingin dipaksa, apalagi dipaksa untuk menikah dengan orang yang tidak disukai, ibu juga pasti akan bersikap seperti neng seila”.
“ibu tau tentang pernikahan?”, tanyaku kepada ibu.
“ibu tahu, ibu tahu semuanya, semua tetangga dan sanak saudaramu tahu mengenai hal tersebut, tapi kami hanya bisa merasa iba saja, sebenarnya kami kasihan kepada neng seila”.
“kasihan kenapa bu”,
“kami tahu sifat dan kelakuan mas Doni, dia orangnya kasar dan ringan tangan, ibu juga pernah satu hari di pukul sama dia gara-gara tidak sengaja menyenggolnya saat di pasar, untung waktu itu ibu ditolongin sama para penjual di pasar jadi ibu tidak apa-apa. Ada juga yang pernah bilang kalau dagangannya dirampas oleh doni dengan paksa dan masih banyak lagi neng, eh maaf neng bukan ibu menjelek-jelekan calon suami neng tapi kenyataannya seperti itu neng”,
“saya sudah bisa tebak bi, dari awal kami berkenalan saya sudah bisa membaca karakternya yang kasar dan hanya melabur nafsu, tapi ibu dan ayah tidak pernah memberitahukan hal tersebut kepada saya, seakan mereka menutupi hal tersebut”,
**
Semakin sore rasanya orang yang berdatangan semakin banyak, hilir mudik silih bergantian. Satu keluar dan yang lain masuk ke gedung, sungguh sesak sekali ruangan ini. Aku hanya bisa terpaku duduk di pelaminan dengan orang yang sama sekali tidak aku cinta, walaupun banyak orang bilang bahwa pacar setelah nikah itu lebih enak dan lebih terasa fell nya, tapi rasanya sekarang aku ingin menolak dan menyanggah hal tersebut.
Cinta…sekarang kata indah itu terasa hambar untuk didengar. Dalam benak ku berputar banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang sangat mengganggu batin ini. “apakah aku akan bahagia, apakah aku akan ikhlas, apakah hubungan kami akan bertahan lama, apakah masalah yang akan kami hadapi setelah ini”, sungguh pertanyaan yang sangat aku tidak harapkan hadir dan menggoyahkan semuanya.
Rasanya ingin sekali menolak dan berontak, kabur dan pergi dari tempat ini. Tapi apakah aku setega itu meninggalkan kedua orang tuaku yang terlihat sangat bahagia menyaksikan anak perempuannya berdiri di pelaminan bersama seseorang pilihan mereka. Sungguh aku tidak tega, melihat senyum lebar berubah menjadi tangis kesedihan. Biarlah hanya aku yang merasakan kepedihan ini, asalkan kedua orang tuaku dan keluargaku senang dan bahagia. Ikhlasku hanya untuk melihat kebahagiaan dan senyuman dari orang tuaku bukan ikhlas untuk pernikahan ini.
Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan sekarang ini, dibenaku dipenuhi oleh berbagai macam penolakan dan pemberontakan tentang semua ini. Tapi disisi lain aku begitu bahagia melihat kedua orang tuaku tertawa lepas melihat anak kesayangannya telah menikah dengan orang pilihan mereka.
Tetesan demi tetesan air mata bercucuran membasahi pipiku, orang lain tidak tahu tangisan apa yang sedang ku rasakan sekarang ini. Mungkin mereka mengira bahwa aku menangis karena bahagia telah menikah dengan anak orang kaya. Senyum tanpa makna aku tampilkan didepan para tamu dan sanak saudara.
Hanya itu yang bisa aku lakukan, aku hanyalah seorang anak yang tetap menjadi seorang anak bagi orang tuaku. Sudah sepantasnya aku harus berbakti dan inilah baktiku kepada mereka. Walau hati perih dan merana tetapi aku harus tetap tersenyum memperlihatkan kebahagian kepada kedua orang tuaku. Kasih orang tua kepada anak tiada akhir dan bakti anak kepada orang tua sepanjang masa. Walau dengan keterpaksaan, tetapi aku harus jalani hidupku dengan doni yang mulai detik ini, esok, lusa, dan seterusnya telah menjadi suamiku. Aku harus bisa lalui semua kehidupanku dengan senyuman, walau dalam hati ini menganga luka yang sangat dalam…sedalam-dalamnya…

Tidak ada komentar: